Minggu, 26 Juni 2011

te la ndoke-ndoke ke la kolo-kolopua


Monyet dan Kura-kura
pada zaman dahulu ada seekor kera dan kura-kura, suatu ketika mereka pergi ke hutan, di dalam perjalanan mereka menemukan sebatang pohon pisang. Merekapun memutuskan untuk mengambil pohon pisang tersebut, pohon tersebut dibagi dua. Pikir kera “akan kuambil ujungnya karena tentu akan lekas berbuah dan pangkalnya akan kuberikan pada kura-kura”. Lalu batang pisang tersebut ditanam. 
Suatu ketika mereka bertemu.  Tanya kura-kura  “bagaimana keadaan pisangmu” kura-kura menjawab “sudah tumbuh satu daun, kalau kau monyet”, jawab monyet  “ matembaole-ole idombaole-ole”
Suatu ketika mereka bertemu lagi. monyet bertanya “bagaimana pisangmu kura-kura” “ sudah dua daun yang tumbuh, kalau kau” jawab si kura-kura,  “matembaoleole idombaoleole”. Setelah pertemuan itu mereka bertemu lagi, Tanya monyet “bagaimana pisangmu kura-kura”, kura-kura menjawab “sudah berbuah kalau kau monyet bagaimana” , jawab monyet “matembaoleole idombaoleole” setelah itu mereka bertemu lagi. Tanya kura-kura “bagaimana pisangmu monyet”. Jawab monyet “sudah mati, biar batangnya sudah tidak kelihatan, kalau kau”, kura-kura menjawab “ sudah matang ”. “kalau begitu ayo kita lihat”, kata monyet.
merekapun pergi ke tempat pisang tersebut, sesampainya disana kura-kura mencoba untuk memanjatnya namun ia tidak bisa. “ bagaimana caranya kau memanjat” Tanya monyet, jawab kura-kura “ saya tidak tahu”,  kemudian monyet menawarkan diri untuk memanjatnya “bagaimana kalau saya saja yang memanjatnya, nanti kau berikan saya upah” kura-kurapun mengiyakan hal tersebut. Monyetpun memanjatnya, sesampainya di atas ia memakan buah pisang tersebut, dan pada saat kura-kura minta ia malah memberikan kulitnya. Kata kura-kura “ monyet berikan saya satu”, jawab monyet “tunggu saya rasa dulu” setiap ia minta, monyet menjawab dengan jawaban yang sama.
Karena kura-kura sudah jengkel dengan perbuatan monyet,  kura-kurapun mencari akal untuk membalas perbuatan tersebut, ia mencari bambu, kemudian diruncingkan dan ditanam namun ditutupi oleh dedauanan. Kata kura-kura “monyet, kau mau turun di tanah yang keras atau di tempat yang empuk” saya mau turun di tempat yang empuk “ jawabnya” , “lompatlah saya sudah siapkan” kemudian ia lompat dan tubuhnyapun tertusuk oleh bambu-bambu itu.
tubuhnya kemudian dipotong oleh kura-kura dan di jual kesesama monyet “siapa yang mau beli dagingnya ikan komparu ditukar dengan gendang” kata kura-kura saat menjual daging tersebut. Setelah dibeli ia berkata “ makan daging sesama monyet” , kata monyet 2 “kau bicara apa, mau dibunuh ya” iapun dikejar, namun ia bersembunyi di balik batu (lubang ). Karena tempat persembunyiannya di ketahui maka monyet menjatuhkan batu kedalam lubang itu, kura-kurapun mati.

La ndoke-Ndoke Ke Lakolo-Kolopua
I molengo ai ane ke ndoke ke kolopua. Safakutu no fila I laro nurompu, I laro u fila-fila’a o poafa te hu’u pida. O ala e na hu’u pida iso, maka no bagi dua e. fikiri u ndoke “kumala te umbuno naiaku, parantai na bumae handa maka te hu’u no ako te kolopua”.  Pasi iatu no hembula emo na pida iso.
Safakutu no poafa, no ema a kolopua “afana umpamo na pida u” o balo na kolopua “ I idomo sa ro’o, ara te iko o ndoke”  o balo a ndoke “ matembaole-ole idombaole-ole”. Pasi iatu o poafamo uka, ema na ndoke “afana umpamo na pida u kolopua “, balo na kolopua “o idomo dua ro’o, ara te iko o ndoke”,  o balo na ndoke “matembaole-ole idombaole-ole” . pasi poafano meatu’e ai, o poafamo uka. O ema na ndoke “afana umpamo na pida u kolopua”, o balo na kolopua “ o baemo, ara te iko o”, o balo na ndoke “matembaole-ole idombaole-ole”.  Pasi iatu no poafamo uka. Ema na kolopua “ afana umpamo na pida u ndoke”, balo na ndoke “o matemo bisa te la’ano sa ekamo no to ita , ara te iko o kolopua “o motaamo”. “ara afanatu mai to ita’e”, o bisara na ndoke.
Maka te emai o filamo di pida iso. Saratono di iso, kolopua no soba o eka e na pida iso, toka eka no dari. O bisara na ndoke “afana umpa ko u mekae na pidatu”, balo u kolopua “ eka kudahanie”. Parantai te la kolokolopua eka o dahani ekaa ahirino no melumo ako a umekae te ia. Ema na ndoke “afana umpa ara ku eka emo la ate iaku, laa u huu aku te gadi”. Te la kolokolopua no hada, maka te ndoke no eka emo na pida iso. Saratono di fafo, no manga emo na pida iso te ndoke, ara no melu na kolopua, buntu no metae te kulino, bisara u kolopua “ndoke huu aku sabae”, balo no ndoke “basido, kunami-nami edo lagi”. Tunggala no melu o balo torusue afana iso.
Parantai no mangaremo I sai akono di ndoke, maka te kolopua o lahamo te akala ako te pamanda u ndoke iso. No lahamo te femba, maka no pamohamae, torusu no tanoe di futa toka no tofunie te roo nu kau. O bisara na kolopua “ko tumuhu di futa ara di kasoro”, balo no ndoke “ku tumuhu di kasoro”, bisara nu kolopua “ara afanatu tuhumo, kanae kusiapu akokomo”. te ndoke iso no tombomo, te orunguno no tika emo te femba iso.
Te o rungu no ndoke iso no koho-koho e te kolopua, maka no asoe di kampo nu ndoke keneno “ te emai na bumalu te ate nu komparu, potukara e ke ganda ke mbololo” te bisara u kolopua I tenda ako nu dage iso. Pasi no balue te ndoke keneno, o bisaramo na ia kua “manga te age nu ndoke keneno”. Parantai te bisarano iso sa no rodongo e “u bisara to umpa, u hei di mate a” bisara nu ndoke2. Maka te kolopua no daga emo te ndoke iso, toka no oko di loba. Parantai te oko anao iso sa no dahani e, maka te loba iso sa no nabuti e te fatu, ahirino te kolopua o mate.







Selengkapnya...

Jumat, 17 Juni 2011

analisis cerita rakyat wakatobi


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang dan Masalah
1.1.1.      Latar Belakang
Bangsa Indonesia terkenal dengan masyarakat yang majemuk, dengan keanekaragaman suku bangsa yang tersebar di  nusantara. Hal ini menjadikan bangsa Indonesia kaya dengan budaya daerah. Salah satu budaya daerah yang lahir dari konsekuensi keanekaragaman suku bangsa itu adalah sastra daerah.
Adanya kecenderungan bahwa sebagian masyarakat yang ada sekarang ini kurang menyadari begotu pentingnya peran dan fungsi sastra, khususnya sastra daerah dalam pembinaan kelestarian kebudayaan nasional. Kecenderungan ini tidak perlu ada, jika menyadari sastra daerahlah sumber inspirasi untuk memperkaya dan merevitalisasi kebudayaan nasional yang sesuai dengan nilai-nilai falsasah bangsa Indonesia.
Sastra daerah dalam kedudukannya sebagai budaya daerah, mencerminkan sesuatu nilai budaya yang dianut atau diemban oleh pendukung sastra daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dibina kelestarian serta diangkat kepermukaan agar masyarakat tahu bahwa sastra daerah tidak semata-mata berisi khayalan, tetapi juga meiliki nila-nilai budaya yang di dalamnya termasuk nilai moral, nilai kehidupan, dan nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat.
Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang penting adalah sastra daerah yang masih berbentuk lisan dan tengah-tengah masyarakat. Sehingga usaha pengkajian sastra daerah khususnya yang mencakup cerita rakyat akan terus diupayakan.
Sastra daerah merupakan karya seni yang data memberikan kesenangan pada manusia, untuk itu alternativ yang tepat, perlu diadakan penelitian, pengkajian dan pengembangan karena mengingat sastra daerah merupakan sumber  kebudayan nasional. Hal ini dapat kita lihat dalam GBHN tahun 1998, yang berbunyi: kebudayan  dikembangkan dengan memperkuat penghayatan dan pengamalan pancasila, meningkatkan kualitas kehidupan, memperkuat rasa harga diri dan kebanggaan nasional, memperkuat jiwa persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa . hasrat pengembangan kebudayaan nasional terus digairahkan (Deppen RI,1998:98 ).
Pernyatan di atas mengandung makna bahwa kebudayan daerah yang mengandung nilai-nilai pancasila akan dikembangkan dengan cara mengkomunikasikan secara luas. Begitu juga dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional tidak terlepas dari upaya penggalian sumber-sumber kebuyaan daerah yang banyak di seluruh nusantara.
Hal ini dinilai penting, karena dengan perkembangan teknologi saat ini sastra daerah menjadi terpinggirkan bahkan hampir terlupakan. Padahal cerita rakyat masih memiliki banyak nilai-nilai yang sangat tinggi serta memiliki muatan isi yang perlu diwarisi oleh pemakainya. Selain itu, kebudayaan daerah yang khususnya mencakup cerita rakyat merupakn budaya leluhur dan wahana untuk berkomunikasi antara masyarakat lama dan masyarakat generasi sekarang.
Cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional yang masih memiliki nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Cerita rakyat juga telah lama lahir sebagai wahana pemahaman dan gagasan pewarisan tata nilai berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat, dalam arti ciptaan yang yang berdasarkan lidan dan lebih mudah diganti karena ada unsur yang dikenal masyarakat, (Rusyana,1975:8).
Kenyataan menunjukan bahwa sastra daerah khususnya cerrita rakyat yang merupakan salah satu bentuk kesusastraan lama yang mempunyai tatanan nilai dan isi yang bermanfaat sebagai pencerminan kehidupan masyarakat penduduknya, kini mulai bergeser oleh masuknya berbagai jenis budaya asing yang ada, dan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra lisan itu tergeser pula, sehingga perlu dilakukan penelitian-penelitian tentang hal tersebut.
Karya satra daerah, yakni cerita rakyat yang berada di Sulawesi Tenggara yakni pada daerah masyarakat Wakatobi belum terungkap akan  nilai-nilai dan isi yang bermanfaat untuk masyrakat pendukungnya dalam mewujudkan kesadaran untuk selalu mengembangkan dan melestraikan sastra daerah itu sebagai pendukung terbentuknya kebudayaan nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengembangan dan pelestraian cerita rakyat yang  teradapat dalam masyarakat Wolio di Kabupaten Walatobi ini perlu diteliti gara cerita tersebut, bukan hanya sebagai pengisi waktu, tetapi bagaimana kita memahaminya sehingga cerita rakyat tersebut dapat dimanfaatkan.
Selain itu, peneliti mencermati gejala umum minat masyarakat terutama generasi muda terhadap cerita rakyat yang kini semakin memperihatinkan, yang berdampak terhadap kemungkinan lenyapnya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu penelitian terhadap cerita rakyat mengandung ajran moral dan falsafah hidup masyarakat, perlu kita wujudkan dalam bentuk tulisan agar maknanya dapat dipahami masyarakat dewasa ini terutama generasi pelanjut.
1.1.2.      Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
1.      Apakah Tema dan pesan moral dalam dua cerita rakyat Wakatobi?
2.      Adakah persaman dan perbedaan pesan moral yang diungkapkan dua cerita rakyat Wakatobi?


1.2.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1.       Tujuan dan Manfaat Penelitian
yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1)      Menemukan tema dan pesan moral dalam dua ceriat rakyat Wakatobi
2)      Mengemukakan persamaan dan perbedaan pesan moral yang diungkapakan dua cerita rakyat Wakatobi
1.2.2.      Manfaat penelitian
1)      Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :
2)      Penulis bias mengetahui tema dan pesan moral yang terdapat dalam dua cerita rakyat Wakatobi
3)      Sebagai upaya untuk mempertahankan sastra daerah khususnya cerita rakyat di Indonesia khusunya di Wakatobi
4)      Sebagai acuan bagi para peneliti sastra yang ingin melakukan penelitian yang relevan dengan penellitian ini


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. HAKIKAT SASTRA
Istilah “sastra” dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada masyarakat meskipun secra social, ekonomi dan keagamaan keberadaannya tidak merupakn keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang universal. Akan tetapi suatu fenomena, jika gejala universal itu tidak mendapat konsep yang universal pula. Kriteria ke “sastra”an pda masyarakat lain sebagai contoh dapat dilihat pada kriteria “rekaan” pada masyarakat sastra didunia barat yang tidak dapat diterapkan didunai barat yang tidak dapat diterapkan di arab, di india ataupun di cina (Teeuw,1994).
Dalam buku teori kesusastraan, Wellek dan Warrent membatasi defenisi sastra pada “Mahakarya” (Great Books) yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Dalam hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis, atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah.
Badudu (1975:5) menguraikan secar morfologi bahwa kata kesusastraan berasal dari kata daear “su-sastra” yang diberi imbuhan “ke-an”. Kata dasar susatra sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta “su” yang berarti baik, bagus,dan indah. Sastra berarti lisan.
Pengertian kesusastraan  berdasarkan arti katanya seperti yang dikemukakan oleh Parkamin dalam Badudu (1975:5) bahwa apa yang disebut kesusatran itu adalah semua tulisan atau karangan yang indah yang bernilai yang arti didalamnya tercapai keseimbangan antara isinya yang indah yang dapat pula dilahirkan dalam bentuk bahasa yang indah pula.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa harus ada abatasan antara tulisan yang indah namun bukan sastra dan kesusastraan, sehingga para peneliti sastra tidak mengalami masalah dalam memberikan apresiasi dalam penelitian karya sastra.
2.2. Jenis sastra

2.2.1.       Puisi
Puisi adalah salah satu karya sastra yang dalam penyajiannya sangat mengutamakan keindahan bahasa dan kepadatan makna. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalamsebuah puisi, seseorang perlu mengartikan dan memahami betul secara detil maksud kata-kata yang ada dalam bait-bait puisi. Puisi terbagi atas 2 yaitu puisi lama dan puisi modern.


2.2.2.       Prosa

Prosa adalah suatu jenis tulisan yang berbeda dengan puisi karena variasi ritme
(rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan
arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin " prosa" yang artinya "terus
terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu
fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah,
novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa biasanya
dibagi menjadi empat jenis: prosa naratif, prosa deskriptif, prosa eksposisi, dan
prosa argumentatif. Prosa dibagi menjadi dua, yaitu Roman dan Novel. Yang termasuk dalam jenis prosa terdiri atas: dongeng, cerpen, novel, biografi,esay, kritik, dan artikel.
2.2.3.       Drama

Drama adalah suatu aksi atau perbuatan (bahasa yunani). Sedangkan dramatik adalah jenis karangan yang dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan. Sandiwara adalah sebutan lain dari drama di mana sandi adalah rahasia dan wara adalah pelajaran. Orang yang memainkan drama disebut aktor atau lakon.
Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama.

2.3. Sastar Lisan
Sastra lisan adalah sejenis atau sekelas dengan karya tertentu yang dituturkan dari mulut kemulut baik secara lisan, anonym menggambarkan masa lampau. Shypley (dalam gafar, 1990:3).
Sastara lisan yang berkembang dikalangn masyarakat terdiri atas:
1)      Bahasa rakyat
2)      Ungkapan tradisional
3)      Pertanyaan tradisioanal seperti teka-teki.
4)      Puisi rakyat seperti puisi dan syair
5)      Cerita rakyat seperti legenda dan mitos
6)      Nyanyian rakyat.
Sastra lisan adalah sastra yang disampaikan dari mulut kemulut seorang pencerita atau penyair kepada seorang atau sekelompok pendengar (Atmazaki, 1986:82). Sedangkan menurut Hutomo (dalam Tarno,1983:4) bahwa sastra lisan  atau kesusastaran lisan adalah kesusastraan yang mencakup hasil ekspresi warga suatu kehidupan yang disebarluaskan dan turun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut.   Sastra lisan terbagi atas dua yaitu sastra lisan yang murni, dan sastra lisan yang sudah mendapatkan tambahan ( alat musik seni seperti gendang, gong, dan sebagainya ).
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sastra lisan adalah
·         Tidak diketahui pengarangnya
·         Perubahan isi maupun bentuk dari cerita itu lama
·         Religius
·         Selalu meniru bentuk yang sudah ada


2.4. Sastra Lama

Karya sastra atau lama lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat yang masih kental adat istiadat dan keyakinan-keyakinan kuno atau lama. Karya-karya kesusastraan lama sangat dipengaruhi oleh muatan lokal berupa adat dan istiadat yang berlaku pada zamannya.
Diantara kesusastraan lama itu adalah pantun, hikayat, gurindam, dongeng, dan syair. Jenis-jenis sastra lama ini berpengaruh besar dalam perkembangan sastra modern di Indonesia.
Pada umumnya karya sastra lama cenderung menggunakan lisan sebagai media penyebarannya. Oleh karena itu sebuah karya, pantun atau dongeng tidak diketahui siapa pengarangnya. Cerita yang dilisankan itu menyebar ke berbagai pelosok dan berbagai kalangan.

2.4.1.       Cerita Rakyat
menurut Gafffar (1990:3) cerita rakyat merupakan bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa. Pengertian akan kabur bilamana diperhadapkan pada bentuk sastra lisan lain yang juga menggunakan media bahasa seperti teka-teki dan ungkapan tradisional.
Dalam pengertian lain cerita rakyat adalah kisahan atau anonim yang tidak terikat oleh ruang dan waktu yang beredar secara lisan ditengah-tengah masyarakat (Sudjiman,1989:16). Dalam kamus besar bahasa Indonesia(1990:165) dijelaskan,bahwa cerita rakyat adalah cerita pada zaman dahulu yang hidup ditenagh rakyat dan diwariskan secara lisan. Cerita rakyat dengan demikian bisa dipandang sebagai salah satu bentuk tradisi lisan yang menggunakan media bahasa.
Dalam buku foklor Indonesia, Danandjaja mengemukakan bahwa cerita rakyat adalah  bagian dari foklor yang memamng murni. Sedangkan pengertian foklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara macam kolektif apa saja , secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun dalam contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (1984:16). Jenis-jenis cerita rakyat terdiri atas : dongeng, mitos, fable, dan legenda.

2.4.2.       Pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan dan dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan. Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), bersajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak boleh a-a-a-a, a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.

2.4.3.       Gurindam
Gurindam adalah bentuk puisi lama, bentuknya hampir sama dengan pantun. Bentuk gurindam terdiri atas dua baris. Baris pertama berisi syarat atau perjanjian dan baris kedua berisi akibat atau kejadian yang disebabkan oleh baris pertama.
2.4.4.       Hikayat
Hikayat merupakn jenis karya sastra lama yang berkembang dalam secara turun temurun. Sebuah cerita hikayat biasanya berhubungan dengan kehidupan istana, kesaktian senjata, dan kehebatan seorang kesatria. Hikayat banyak tersebar di masyarakat, hikayat kebanyakan ditemukan dalam media tulis, seperti kulit kayu, kulit binatang, dan bambu yang digunakan pada zaman dahulu.

2.5. Konsep Nilai
2.5.1.       Nilai Dalam Sastra
Syuitno (1986:3) menjelaskan bahwa sstra dalam tata nilai kehidupan adalah fenomena sosial yang sedang melengkapi kesendirian mereka sebagai sesuatu yang esensial. Kemudian bahwa ssatra walaupun tidak secara eksplisit, tetapi sebenarnya sebagai penuntun hidup.
Selain pendapat di atas Tarigan (1984:144-145) menjelaskan bahwa dalam kartya sastra terdapat berbagai macam nilai. Nilai-nilai itu adalah nilai artistic, nilai hedonic, nilai moral, dan nilai praktis.

2.5.2.       Hakikat moral

Moral sejati yang pada tingkaha laku yaitu kesedian untuk berkorban, mengabaikan kepentingan sendiri, mengabaikan lingkungan kepentingan pribadi (Durkheim,1990:10).
Moralitas merupakan nilai dasar esensial dari segala tingkah laku di dalam mewujudkan suatu tradisi kebudayaan, sedangkan kebudayan itu sendiri adalah bentuk bagian kehidupan, yang secara relative memuat tengang ketentuan-ketentuan yang telah dijadikan dasr mengenaiapa yang mesti, apa yang harus, apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Moral adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan ktu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbutan manusia. (Poespoprodjo, W. 1991:102).
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa moral adalah nilai yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia.


BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1 Metode dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah peneliatian deskriptif  kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah suatu rancangan penelitian yang mencoba mendeskripsikan fenomena yang menajdi sasaran penelitian secara alamiah. Adapun jenis penelitian ini adalah peneliatian kepustakaan
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah cerita rakyta Wakatobi yaitu Monyet ke Kura-Kura, dan Laku ke Kura-Kura.
Sumber data dalam penelitian ini adalah dari hasil wawancara dengan masyarakat yang tahu persis tentang cerita ini. Dan yang menjadi informannya adalah Wa Hadida, umur 59 tahun bekerja sebagai seorang tani di desa Liya Mawi di Kabupaten Wakatobi.


3.3.  Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan data dan sumber data maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah merekam cerita informan kemudian mencatatnya.
Cerita Monyet ke Kura-Kuraterlebih dahulu dibaca kemudian ditelaah, kemudian mencari dan mencatat aspek yang menajadi masalah dari penelitian ini.

3.4. Teknik Analisis Data
Dalam penganalisisan data penelitin ini menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan ini sesuai dengan objek penelitian yakni cerita rakyat yang dikaji berdasarkan isi cerita. Pendekatan struktural. adalah seperangkat asumsi dan prinsip yang berhubungan dengan-sifat-sifat cerita pendek atau karya sastra umumnya. Cerita dikaji berdasarkan isi cerita dengan menganalisis pesan moral yang dihubungkan dengan karakter tokoh cerita dan unsur-unsur pembedaannya secara terpadu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari sumber data, maka peneliti akan menganalisis data tersebut, pertama-tama menerjemahkan cerita daerah sebagai data kedalam bahasa Indonesia , setelah itu data diinterprestasikan, selanjutnya mengaji dan mendeskripsikan isi cerita rakyat dengan menggunakan pendekatan struktural.


BAB IV
PEMBAHASAN  DATA PENELITIAN
4.1.Tema Dalam Cerita La Ndokendoke La Kolokolopua
Tema adalah ide pokok dalam cerita, jadi semua karya sastra pasti memiliki tema yang mengandung makna atau inti cerita yang ada di dalamnya.
Dalam cerita “La Ndokendoke ke La Kolokolopua” yang merupakan salah satu cerita di daerah Wakatobi menceritakan tentang keserakahan dan benci dalam cerita ini berakhir dengan kematian la Kolopua, akibat rasa bencinya sendiri, dan La Ndokendoken yang mati akibat keserakahannya terhadap La Kolokolopua. Kutipan di bawah ini memperjelas tentang keserakahan La Ndokendoke.
…… fikiri u ndoke “kumala te umbuno naiaku, parantai na bumae handa maka te hu’u no ako te Kolopua”.  Pasi iatu no hembula emo na pida iso.
…….. Pikir kera “akan kuambil ujungnya karena tentu akan lekas berbuah dan pangkalnya akan kuberikan pada Kura-Kura”. Lalu batang pisang tersebut ditanam.
Kutipan di atas memberikan gambaran tentang keserakahan La Ndokendoke, ketika ia membagi batang pisang tersebut. Ujung batang pisang yang diambilnya pasti akan cepat berbuah karena sudah punya daun, dan La Kolokolopua yang mengambil batangnya akn mati karena tidak memiliki daun.
Akibat sifat serakah tersebut pisang yang diambilnya mati, sedangkan La Kolokolopua yang dibohonya,  malah tumbuh subur pisang yang ditanamnya.
…… Pasi iatu no poafamo uka. Ema na Kolopua “ afana umpamo na pida u ndoke”, balo na ndoke “o matemo bisa te la’ano sa ekamo no to ita , ara te iko o Kolopua “o motaamo”. “ara afanatu mai to ita’e”, o bisara na ndoke……..
…… setelah itu mereka bertemu lagi “bagaimana pisangmu La Ndokendoke?” Tanya Kura-Kura. Jawab Monyet “sudah mati, biar batangnya sudah tidak kelihatan, kalau kau”, Kura-Kura menjawab “ sudah matang ”. “kalau begitu ayo kita lihat”, kata Monyet…….
Sifat serakah si kera juga terlihat pada saat ia memakan pisang La Kolokolopua, sedangkan la ia tidak memberi pisang itu pada pemiliknya, akibat keserakahannya ini ia terbunuh akibat jebakan dari koloKolopua. Hal ini bisa di lihat pda kutiban cerita berikut ini, yaitu”:
…… Saratono di fafo, no manga emo na pida iso te ndoke, ara no melu na Kolopua, buntu no metae te kulino, bisara u Kolopua “ndoke huu aku sabae”, balo no ndoke “basido, kunami-nami edo lagi”. Tunggala no melu o balo torusue afana iso.,,,,,
……. sesampainya di atas ia memakan buah pisang tersebut, dan pada saat Kura-Kura minta ia malah memberikan kulitnya. Kata Kura-Kura “ Monyet berikan saya satu”, jawab Monyet “tunggu saya rasa dulu” setiap ia minta, Monyet menjawab dengan jawaban yang sama……
Sedangkan rasa benci Kura-Kura yang menyebabkan ia melakukan hal yang tak terduga ia itu membohongi Monyet yang kahirnya menyebabkan Monyet mati bisa dilihat pda kutipan berikut.
…….O bisara na Kolopua “ko tumuhu di futa ara di kasoro”, balo no ndoke “ku tumuhu di kasoro”, bisara nu Kolopua “ara afanatu tuhumo, kanae kusiapu akokomo”. te ndoke iso no tombomo, te orunguno no tika emo te femba iso…..
…… Kata Kura-Kura “Monyet, kau mau turun di tanah yang keras atau di tempat yang empuk” saya mau turun di tempat yang empuk “ jawabnya” , “lompatlah saya sudah siapkan” kemudian ia lompat dan tubuhnyapun tertusuk oleh bambu-bambu itu……
Dari kutipan itu bisa dilihat jelas bahwa berbohong selalu membawa akibat buruk bagi kehidupan.
Dari beberapa pernyataan yang dikemukakan di atas maka bisa dikatakan bahwa tema dalam cerita rakayat Wakatobi “ La Ndokendoke Ke La kolokolpoua” ini adalah tentang keserakahan dan kebohongan.

4.2. Pesan Moral Dalam Cerita La Ndokendoke Ke La Kolokolopua

Kejujuran adalah sesuatu yang berhubungan dengan keikhlasan. Perbuatan tipu daya yang merupakan lawan dari kejujuran adalah hal yang tidak baik, karena bisa menyebabkan hilangnya rasa percaya dan rasa menghormati terhdapa sesama,
Dalam cerita La Ndokendoke ke La Kolokolopua, kita bisa menemukan perbuatan tipu daya, yang bisa dilihat pada kutipan cerita berikut ini,
…….fikiri u ndoke “kumala te umbuno naiaku, parantai na bumae handa maka te hu’u no ako te Kolopua”.  Pasi iatu no hembula emo na pida iso……
…… pohon tersebut dibagi dua. Pikir kera “akan kuambil ujungnya karena tentu akan lekas berbuah dan pangkalnya akan kuberikan pada Kura-Kura”. Lalu batang pisang tersebut ditanam……
Dari kutipan ditas bisa dilihat bahwa si kera mebohongi si kera dengan memberikan batang pisang tersebut agar pisangnya mati karena belum memiliki daun, dan ternyata malah membohongi dirinya sendiri.
Sifat serakah si kera juga terlihat ketika ia meminta untuk melihat pisang si Kura-Kura, karena ia pikir Kura-Kura tidak mungkin memanjat pisang tersebut, yang kemudian diperkuat ketika ia menawarkan diri untuk memanjat pisang tersebut.
……..Ema na ndoke “afana umpa ara ku eka emo la ate iaku, laa u huu aku te gadi”. Te La Kolokolopua no hada, maka te ndoke no eka emo na pida iso……
…….O bisara na Kolopua “ko tumuhu di futa ara di kasoro”, balo no ndoke “ku tumuhu di kasoro”, bisara nu Kolopua “ara afanatu tuhumo, kanae kusiapu akokomo”. te ndoke iso no tombomo, te orunguno no tika emo te femba iso………
……Kata Kura-Kura “Monyet, kau mau turun kasur atau di tanah” saya mau turun di kasur“ jawabnya” , “lompatlah saya sudah siapkan” kemudian ia lompat dan tubuhnyapun tertusuk oleh bambu-bambu itu……
Akibat kebohongan yang dilakukan oleh si Kura-Kura maka si kera meninggal akibat ranjau yang dipasang oleh si Kura-Kura. Perbuatan Kura-Kura ini muncul akibat ia merasa di bohongi dan diperlakukan tidak adil oleh Kura-Kura. Pisang yang menjadi haknya malah dinikmati oleh Si Monyet. Sementara itu Si Monyet akibat keserakahannya ia tidak memberikan sedikitpun pisang yang menjadi hak dari Kura-Kura.
Jika melihat dari sisi keadilan seharusnya si kera memberikan pisang tersebut kepada Kura-Kura dan mengambil sedikit bagiannya yang menjadi hannya, yaitu upah yang di mintanya. Namun hal itu ia tidak lakukan karena sifat serakah yang dimiliki oleh kera:
…… bisara u Kolopua “ndoke huu aku sabae”, balo no ndoke “basido, kunami-nami edo lagi”. Tunggala no melu o balo torusue afana iso……
….. Kata Kura-Kura “ Monyet berikan saya satu”, jawab Monyet “tunggu saya rasa dulu” setiap ia minta, Monyet menjawab dengan jawaban yang sama…….
……..Ema na ndoke “afana umpa ara ku eka emo la ate iaku, laa u huu aku te gadi”. Te La Kolokolopua no hada, maka te ndoke no eka emo na pida iso……
…..kemudian Monyet menawarkan diri untuk memanjatnya “bagaimana kalau saya saja yang memanjatnya, nanti kau berikan saya upah” Kura-Kurapun mengiyakan hal tersebut….
Pada dasarnya sifat serakah si kera sudah terlihat pad awal cerita yaitu ketika ia mmbagi pisang tersebut dan ketika ia menafarkan diri untuk memanjat pisang si Kura-Kura.
Sementara pada si Kura-Kura mengenai kebohongan lainnya yaitu ketika ia menjual daging Kura-Kura, ia mnegatakan bahwa siapa yang mau membeli daging ikan komparu sedangkan daging yang di jualnya adalah daging kera. Karena kebohongannya ini pula ia dibunuh oleh kera lainnya.
Pada dasarnya dalm kehidupan kita harusa saling menghormati, kita harus mampua memilah yang mana hak dan yang mana kewajibannya kita,  tidak seperti kera yang memakan semua pisang si Kura-Kura yang menyebabkan rasa sakit hati dan dendam terhadap si kera. Perasaan merupakan hal yang sangat peka dalam hidup sehingga dalam bersikap dan  bertindak kita harus hati-hati agar tidak menyebabkan sesuatu yang buruk.
\Kura-Kura yang hidup dengan  kelompok kera yang memiliki kekuasaan ditempat itu dianggap kecil oleh kera, karena kera menganggap dirinya bisa melakukan apapun dengan kekuatannya. Bahawa meskipun kita memiliki kekuatan dan kekuasaan janganlah menganggap remeh orang yang ada di bwah kita sehingga rasa cinta dan kasih saying selalu hadir dalam lingkungan kehidupan.
Sehingga bisa di katakan bahwa semua kebohongan itu akan mendapatkan balasan, dan cara Kura-Kura membalas perbuatan si kera sudah melampaui batas. Pesan moral yang terdapat dalm cerita ini adalah agar dalam hidup kita jangan serakah, serta rasa balas dendam itu tidak berdampak baik terhadap kehidupan, karena hanya akan menimbulkan rasa benci dan kekerasan.
4.3.Tema Dalam Cerita Kolopua Ke laku
Tema merupakan bagian yang sangat pokok dalam sebuah ccerita, karena tanpa sebuah tema, ide pokok sebuah cerita tidak akan terlihat, sehingga karya sastra tersebut tidak akan dianggap menarik.
Dalam cerita Kolopua Ke laku tema cerita yang diangkat adalah tipu daya, karena yang diperlihatkan dalam setiap bagian dan kedua karakter ini adalah tipu daya baik Musang yang menipu Kura-Kura saat mereka mencuri dan saat Kolopua menipu Musang ketika ia dikurung. Tema tentang tipu daya bisa dilihat pada kutipan dialog berikut;
…….. Kata Kura-Kura “ kenapa kamu tidak gendong saya”, tapi Musang terus berlari, akhirnya Kura-Kura di tangkap oleh petani itu karena larinya tidak cepat……
…….No bisara na Kolopua kua “o ha a nu tada ako naku, kamba eka nubisara kua ko kumolo naku” toka no tinti la a na laku iso. ahirino te Kolopua o raho e parantai te tintino no mololema.……
Musang yang berjanji akan menggendong Kura-Kura ketika Pak Tani datang, malah lari terbirit-birit dan bersembunyi di atas pohon sehingga menyebabkan Kura-Kura tertangkap oleh pemilik ladang.
……kalau datang orangnya nanti saya gendong….
……ara no  mai na miano laa ku koloko…….
Dari dialog diatas terlihat jelasn bahwa Musang telah berjanji akan menggendong Kura-Kura saat Pak Tani datang akan tetapi ia malah meninggalkannya di tengah kebun. Musang tidak menepati janjinya kepada Kura-Kura.
……bagaimana saya tidak senang, saya akan dinikahkan dengan putri Pak Tani yang cantik……
…..eka tamele toumpa, nakanae na makafi aku ke ana u mia motofunuana, ke anangkalambeno….
Pada kutipan cerita di atas terlihat Kura-Kura yang menipu Musang akibat rasa bencinya terhadap Musang yang menipunya ketika mereka di ladang, Kura-Kura yang akan disembelih melompat kegirangan untuk menipu Musang, bahwa dia akan dinikhakan dengan putri Pak Tani, yang pada akhirnya menyebabkan kematian Musang karena tipu daya yang dilakukan oleh Kura-Kura berhasil menipu Musang.
……….Keesokan harinya Musang tersebut disembelih, dan matilah si Musang akibat ingin senang sendiri………….
…….Kambeda salangeno te laku iso no sumbele emo. Ahirino no mate na laku iso parantai o hei namileama peesa a.…..
Dari beberapa penjelasan maka yang menjadi tema dalam cerita rakyat Wakatobi Kura-Kura dan Musang adalah tentang tipu daya.
4.4.Nilai moral dalam cerita Kura-Kura dan Musang
Nilai moral dalam suatu karya sastra sangatlah penting karena dengan adanya nilai karya sastra bukan hanya sebagai inspirasi, hiburan ataupun pengantar tidur semata, dengan adanya nilai seperti nilai moral karya sastra bisa sangat mempengaruhi kehidupan masyrakatnya seperti pada cerita rakyta Wakatobi Musang dan Kura-Kura ini.
nilai moral yang terlihat dalam cerita Musang dan Kura-Kura ini adalah  nilai kejujuran bahwa betapa pentingnya kejujuran dalam hidup hingga tidak menyesatkan sesame yang bisa berakibat buruk untuk sekitar dan diri sendiri serta timbulnya rasa benci. Dalam cerita Musang dan Kura-Kura Musang dan Kura-Kura yang menemukan sepetak ladang ingin menikmati isinya. Pada awalnya Kura-Kura tidak ingin melakukan hal itu karena takut namun karena hasutan si Musang dan ternyat itu hanyalah tipu dayanya. Ketika pemilik ladang datang Musang lari meninggalkan ladang sementara Kura-Kura tertangkap karena larinya tidak cepat. Musang yang sebelumnya berkata akan menolong Kura-Kura ketika Pak Tani datng malah kabur dan membiarkan Kura-Kura dibawa oleh Pak Tani.
…….. Kata Kura-Kura “ kenapa kamu tidak gendong saya”, tapi Musang terus berlari, akhirnya Kura-Kura di tangkap oleh petani itu karena larinya tidak cepat……
……No bisara na Kolopua kua “o ha a nu tada ako naku, kamba eka nubisara kua ko kumolo naku” toka no tinti la a na laku iso. ahirino te Kolopua o raho e parantai te tintino no mololema.….
Pada kutipan cerita diatas terlihat bahwa Musang meninggalkan Kura-Kura. Karena Kura-Kura merasa di bohongi iapun mencari akal untuk membalas perbuatn Musang.
……...bagaimana saya tidak senang, saya akan dinikahkan dengan anaknya Pak Tani yang cantik….
…..eka kumele toumpa, nakanae a makafi aku ke anangkalambe mandafuluno……
Karena tipu daya akhirnya Musang yang serakah mau menggantikan Kura-Kura yang terkurung. Yang menyebabkan ia disembelih oleh Pak Tani.
Dalam kehidupan tipu daya selalu berdampak buruk, karena hanya akan menimbulkan saling benci dan rasa balas dendam untuk mendapatkan kepuasan.
4.5.Persamaan dan perbedaan pesan moral dalam cerita La Kolokolopua ke La Ndokendoke dan laku ke Kolopua.
4.5.1.      Persamaan nilai moral dua cerita rakyat Wakatobi “La Ndokendoke ke La Kolokolopua dan laku ke Kolopua”
Selain hanya sebagai pengantar tidur dua cerita ini memiliki nilai dan pesan moral yang sangat berpengaruh dalam kehidupan. Pada dua cerita ini bisa di lihat bahwa pesan moral yang di bawakan adalah tentang arahan agar kita berlaku jujur.
 Dalam ceriat La Kolokolopua ke La Ndokendoke tipu daya sangat kental di dalamnya, namun semua itu tidak berdampak baik bagi pelakukanya baik yang menipu dan yang ditipu, karena hanya akan menimbulkan rasa benci. Jadi bisa diktakan bahwa kedua cerita ini memiliki pesan moral yang sama yaitu nilai ketidak jujuran.
4.5.2.      Perbedaan nilai moral dua cerita rakyat Wakatobi “La Ndokendoke ke La Kolokolopua dan laku ke Kolopua”
Perbedaan dalam dua cerita ini adalah jika dalam cerita La Kolokolopua ke La Ndokendoke saraf akan keserakahan sementara pada cerita laku ke Kolopua tidak ditonjolkan yang ditonjolkan hanyalah tipu daya.  Serta perbedaan yang kedua adalah jika pada cerita laku ke Kolopua menghormati hak orang lain dan tiak menganggap rendah orang yang diwahnya tidak  ditonjolkan sementara p;ada cerita la koKolopua ke La Ndokendoke di tonjolkan.


BAB VI
KESIMPULAN Dan SARAN
5.1. Kesimpulan
Pada hakikatnya sastra khususnya cerita rakyat bukan hanya sebagai pengantar tidur namun didalamnya memuat banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa diaplikasikan dalam hidup, seperti kejujuran, saling menghormati, dan tidak menganggap rendah orang lain.
Dalam dua cerita rakyat Wakatobi ini tema utama serta pesan moral yang di utamakan adalah tentang pentingnya kejujuran dan saling menghormati terhadap sesame agar hidup menjadi asri dan nyaman.
5.2. saran
saran saya sebagai penulis adalah agar pembaca jika melihat kesalahn dalam penulisan Penelitian ini agar dapat memberikan masukan sehingga penulis bisa memperbaikinya demi perkembangan karya ini kearah yang lebih baik






Lampiran 1
Monyet dan Kura-Kura
pada zaman dahulu ada seekor kera dan Kura-Kura, suatu ketika mereka pergi ke hutan, di dalam perjalanan mereka menemukan sebatang pohon pisang. Merekapun memutuskan untuk mengambil pohon pisang tersebut, pohon tersebut dibagi dua. Pikir kera “akan kuambil ujungnya karena tentu akan lekas berbuah dan pangkalnya akan kuberikan pada Kura-Kura”. Lalu batang pisang tersebut ditanam. 
Suatu ketika mereka bertemu.  Tanya Kura-Kura  “bagaimana keadaan pisangmu” Kura-Kura menjawab “sudah tumbuh satu daun, kalau kau Monyet”, jawab Monyet  “ matembaole-ole idombaole-ole”
Suatu ketika mereka bertemu lagi. Monyet bertanya “bagaimana pisangmu Kura-Kura” “ sudah dua daun yang tumbuh, kalau kau” jawab si Kura-Kura,  “matembaoleole idombaoleole”. Setelah pertemuan itu mereka bertemu lagi, Tanya Monyet “bagaimana pisangmu Kura-Kura”, Kura-Kura menjawab “sudah berbuah kalau kau Monyet bagaimana” , jawab Monyet “matembaoleole idombaoleole” setelah itu mereka bertemu lagi “bagaimana pisangmu Monyet” Tanya Kura-Kura. Jawab Monyet “sudah mati, biar batangnya sudah tidak kelihatan, kalau kau”, Kura-Kura menjawab “ sudah matang ”. “kalau begitu ayo kita lihat”, kata Monyet.
merekapun pergi ke tempat pisang tersebut, sesampainya di sana Kura-Kura mencoba untuk memanjatnya namun ia tidak bisa. “ bagaimana caranya kau memanjat” Tanya Monyet, jawab Kura-Kura “ saya tidak tahu”,  kemudian Monyet menawarkan diri untuk memanjatnya “bagaimana kalau saya saja yang memanjatnya, nanti kau berikan saya upah” Kura-Kurapun mengiyakan hal tersebut. Monyetpun memanjatnya, sesampainya di atas ia memakan buah pisang tersebut, dan pada saat Kura-Kura minta ia malah memberikan kulitnya. Kata Kura-Kura “ Monyet berikan saya satu”, jawab Monyet “tunggu saya rasa dulu” setiap ia minta, Monyet menjawab dengan jawaban yang sama.
Karena Kura-Kura sudah jengkel dengan perbuatan Monyet,  Kura-Kurapun mencari akal untuk membalas perbuatan tersebut, ia mencari bambu, kemudian diruncingkan dan ditanam namun ditutupi oleh dedauanan. Kata Kura-Kura “Monyet, kau mau turun di tanah yang keras atau di tempat yang empuk” saya mau turun di tempat yang empuk “ jawabnya” , “lompatlah saya sudah siapkan” kemudian ia lompat dan tubuhnyapun tertusuk oleh bambu-bambu itu.
tubuhnya kemudian dipotong oleh Kura-Kura dan di jual kesesama Monyet “siapa yang mau beli dagingnya ikan komparu ditukar dengan gendang” kata Kura-Kura saat menjual daging tersebut. Setelah dibeli ia berkata “ makan daging sesama Monyet” , kata Monyet 2 “kau bicara apa, mau dibunuh ya” iapun dikejar, namun ia bersembunyi di balik batu (lubang ). Karena tempat persembunyiannya di ketahui maka Monyet menjatuhkan batu kedalam lubang itu, Kura-Kurapun mati.


La Kandoke-Ndoke Ke Lakolo-Kolopua
I molengo ane ke ndoke ke Kolopua. Safakutu no fila I laro nurompu, I laro u fila-fila’a o poafa te hu’u pida. O ala e na hu’u pida iso, maka no bagi dua e. fikiri u ndoke “kumala te umbuno naiaku, parantai na bumae handa maka te hu’u no ako te Kolopua”.  Pasi iatu no hembula emo na pida iso.
Safakutu no poafa, no ema a Kolopua “afana umpamo na pida u” o balo na Kolopua “ I idomo sa ro’o, ara te iko o ndoke”  o balo a ndoke “ matembaole-ole idombaole-ole”. Pasi iatu o poafamo uka, ema na ndoke “afana umpamo na pida u Kolopua “, balo na Kolopua “o idomo dua ro’o, ara te iko o ndoke”,  o balo na ndoke “matembaole-ole idombaole-ole” . pasi poafano meatu’e ai, o poafamo uka. O ema na ndoke “afana umpamo na pida u Kolopua”, o balo na Kolopua “ o baemo, ara te iko o”, o balo na ndoke “matembaole-ole idombaole-ole”.  Pasi iatu no poafamo uka. Ema na Kolopua “ afana umpamo na pida u ndoke”, balo na ndoke “o matemo bisa te la’ano sa ekamo no to ita , ara te iko o Kolopua “o motaamo”. “ara afanatu mai to ita’e”, o bisara na ndoke.
Maka te emai o filamo di pida iso. Saratono di iso, Kolopua no soba o eka e na pida iso, toka eka no dari. O bisara na ndoke “afana umpa ko u mekae na pidatu”, balo u Kolopua “ eka kudahanie”. Parantai te La Kolokolopua eka o dahani ekaa ahirino no melumo ako a umekae te ia. Ema na ndoke “afana umpa ara ku eka emo la ate iaku, laa u huu aku te gadi”. Te La Kolokolopua no hada, maka te ndoke no eka emo na pida iso. Saratono di fafo, no manga emo na pida iso te ndoke, ara no melu na Kolopua, buntu no metae te kulino, bisara u Kolopua “ndoke huu aku sabae”, balo no ndoke “basido, kunami-nami edo lagi”. Tunggala no melu o balo torusue afana iso.
Parantai no mangaramo I sai akono di ndoke, maka te Kolopua o lahamo te akala ako te pamanda u ndoke iso. No lahamo te femba, maka no pamohamae, torusu no tanoe di futa toka no tofunie te roo nu kau. O bisara na Kolopua “ko tumuhu di futa ara di kasoro”, balo no ndoke “ku tumuhu di kasoro”, bisara nu Kolopua “ara afanatu tuhumo, kanae kusiapu akokomo”. te ndoke iso no tombomo, te orunguno no tika emo te femba iso.
Te o rungu no ndoke iso no koho-koho e te Kolopua, maka no asoe di kampo nu ndoke keneno “ te emai na bumalu te ate nu komparu, potukara e ke ganda ke mbololo” te bisara u Kolopua I tenda ako nu dage iso. Pasi no balue te ndoke keneno, o bisaramo na ia kua “manga te age nu ndoke keneno”. Parantai te bisarano iso sa no rodongo e “u bisara to umpa, u hei di mate a” bisara nu ndoke2. Maka te Kolopua no daga emo te ndoke iso, toka no oko di loba. Parantai te oko anao iso sa no dahani e, maka te loba iso sa no nabuti e te fatu, ahirino te Kolopua o mate.


Kura-Kura dan Musang
Pada suatu waktu Musang dan Kura-Kura berjalan kedalam hutan. Di dalam hutan tersebut mereka menemukan sepetak ladang. Merekapun masuk ke dalam kebun tersebut. Di dalam kebun tersebut banyak tanamannya, seperti labu, jagung, ubi, dan semangka. Kata Musang
“ayo kita makan isi ladang ini”
“jangan. Jangan samapi datang pemiliknya”
“kalau datang orangnya nanti saya gendong”
“kalau begitu iya. Tapi gendong saya kalau pemiliknya datang”
“Iya”
Merekapun menikmati isi ladang itu, ketika mereka makan, datanglah pemilik ladang tersebut. Musang lari ke atas pohon. Kata Kura-Kura “ kenapa kamu tidak gendong saya”, tapi Musang terus berlari, akhirnya Kura-Kura ditangkap oleh petani itu karena larinya tidak cepat.
Kura-Kura di bawa ke rumah Pak Tani. Sesampainya di rumahnya  Kura-Kura diikat kemudian dimasukan kedalam kandang. Setiap hari ia melihat Pak Tani mengasah parangnya. Pikir Kura-Kura “mungkin saya ini akan disembelih”. Keesokan harinya datanglah Musang menjenguk Kura-Kura, iapun melihat Kura-Kura dalam keadaan terikat dan terkurung.
Kata Kura-Kura “ Musang gantikan saya”
“ ah tidak mau, kalau begitu nanti besok saja saya datang”
Musangpun pergi meninggalkan rumah itu.
Kura-Kura mencari akal untuk membalas perbuatan Musang, karena ia berkata bahwa ia akan datang lagi besok. Keesokan harinya Musang datang dan melihat Kura-Kura melompat kegirangan ke o singa-singa. Kata Musang
“kenapa kau senang-senang Kura-Kura”
“bagaimana saya tidak senang, saya akan dinikahkan dengan putri  Pak Tani yang cantik”
“kalau begitu sini saya ganti”
“kau mau ganti saya? Kemarilah”
Musangpun masuk kedalam kandang dan dikunci, sementara Kura-Kura lari kehutan. Keesokan harinya Musang melihat Pak Tani terus mengasah pisaunya, iapun heran. Pikir Musang “kenapa Pak Tani terus mengasah pisaunya, apa aku mau disembelih olehnya, ah, mungkin itu untuk memotong kambing buat pernikahanku dengan putrinya” iapun tenang. Keesokan harinya Musang tersebut disembelih, dan matilah si Musang akibat ingin senang sendiri.

Lampiran II
Kolopua Ke Laku
Safakutu te Musang ke Kura-Kura no fila kua motika. I laro u motika iso o poafa te koranga. Pasi iatu o masomo kua laro u koranga iso. I laro u koranga iso o koruo na hembulatano. Ane ke labu, kahitela, kaudafa, ke ontimu.  No pogaumo na laku kua “mai tomangae na nei u koranga na”.
 “kaulu bara no mai na miano”
“ara no  mai na miano laa ku koloko”
“ara afanatu oho, toka kolo aku natu”
“oho”
O manga emo na nei u koranga iso te amai, I laro u manga a o mai na miano, te laku no tinti kua umbu kau. No bisara na Kolopua kua “o ha a nu tada ako naku, kamba eka nubisara kua ko kumolo naku” toka no tinti la a na laku iso. ahirino te Kolopua o raho e parantai te tintino no mololema.
Te Kolopua no bafa emo te mia iso, saratono di funuano o mbongko e na Kolopua maka no pamasoe di kanda. Tunggala o loo no ita e na mia iso no kansi te kabalino. Fikiri u Kolopua “amura na sumumbele aku a yaku ana” .  salangeno no mai na laku o titiro te Kolopua. O ita emo na Kolopua no bongkoe ke o kungkue. Pogau na Kolopua
 “laku, mai ganti aku kai”
“kumondeu, ara afanatu laa kumai di langedo”
Maka no filamo na laku mini funua iso.
Ahirino o laha te akala na Kolopua ako te balasia u laku, parantai no bisara na laku kua anedo a mai. Salangeno, o maimo na laku iso, toka no itae na Kolopua o tombo-tombo mele ke o singa-singa. Pogau a laku
“o haa nu mele ai Kolopua”
“eka tamele toumpa, nakanae na makafi aku ke ana u mia motofunuana, ke mandafuluno”
“ara afanatusa mai ku gantiko kai”
“Ko gumanti aku?, mai kai gara”
Te laku o maso I kanda maka no kunsie, te Kolopua no tintimo kua motika. Salangeno no ita emo na mia iso no kansi-kansi te kabalino. Fikiri u laku “ henggo haa na mia iso no kansi torusu te kabalino, amoha a aku kamba na yaku ana. Oooo amura ako te sumbele u sapi, ako tekafia mami atu boa”. Kambeda salangeno te laku iso no sumbele emo. Ahirino no mate na laku iso parantai o hei namileama peesa a.


Selengkapnya...